Opini

Casmi: Biarlah Kami Seperti ini

×

Casmi: Biarlah Kami Seperti ini

Sebarkan artikel ini

Oleh: Zainudin Yambat

Terik matahari pagi hingga jelang sore, tidak memupuskan semangat para buruh tani di Desa Tumokang Baru, Kecamatan Dumoga Utara, Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara turun di sawah.

Termasuk Ibu Casmi (40) dan empat puluh orang buruh tani lainnya yang saat itu sedang memanen pada yang terhampar pada satu hektare sawah di desanya. Panasnya matahari dan hujan jadi langganan tiap hari, demi sesuap nasi dan harapan keluarga bahagia.

Casmi, adalah buruh tani (Farmworker) di desanya yang terletak di dataran Dumoga, daerah yang dikenal sebagai lumbung beras (rice barn) Sulawesi Utara.

Hampir tiap hari, wanita bertubuh bongsor ini bergelut dengan lumpur di sawah tempat mereka mengais rejeki. Untuk melaksanakan tugas, Casmi harus bangun awal.

 “Sudah jadi pekerjaan rutin, pada pukul 05.00 WITA, saya sudah bangun, memasak, mencuci pakaian. Ketika anak bangun, dimandiin, dikasih makan, kemudian digantikan baju menuju sekolah. Biasanya, pada pukul 07.00 pekerjaan dapur sudah beres, tinggal menunggu jemputan menuju sawah,” kata Chasmi, yang sudah 24 tahun menggeluti pekerjaannya ini.

Bagi Chasmi, bekerja di sawah sudah menjadi garis nasib dari keluarganya, yang asal Jawa. Sebagai penduduk transmigran yang didatangkan dari Kendal Jawa Tengah Tahun 1971, Chasmi merasa tidak ada pilihan pekerjaan lain karena ada keterbatasan pendidikan. Menurutnya, jarang wanita di desanya yang sekolah tinggi, rata-rata lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kemudian setelah lulus SMP, biasanya wanita diharuskan menikah dini.

“Dulu, gadis yang sudah dewasa, harus segera menikah. Setelah itu, harus turun ke sawah bersama dengan suami. Sekarang enak, anak gadis tidak harus ke sawah. Karena saya hanya lulusan SMP, ya anak yang kita perjuangkan,” ujarnya sambil menyeruput kopi istirahat siang.

Untuk menekuni pekerjaannya sebagai buruh tani, Casmi digaji 14 ribu rupiah per jam oleh mandor di tim Kelompok Tani Putra Manohara, tempat ia dan 35 buruh tani wanita bekerja. Dalam sebulan, ibu dua anak ini mengaku mendapat penghasilan Rp 1,6 juta. Jumlah yang terbilang rendah jika dibandingkan dengan buruh pabrik yang memperoleh upah Rp2,8 juta seusuai upah Propinsi Sulawesi Utara.

Namun, menurut Casmi, penghasilan tersebut sudah cukup. Julianto (48) sang suami bekerja sebagai tukang. Jika ditotal, penghasilan Casmi dan Julianto dikisaran Rp 2,5-3 juta per bulan.

Dari hasil bekerja, sebagai buruh tani, Casmi saat ini sedang menyekolahkan anak pertamanya di Perguruan Tinggi. “Anak saya yang pertama sedang kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammdiyah, di Manado. Untuk membayar uang indekos dan uang sekolah, Casmi dan suaminya rutin mengirimkan uang.

Menurut bos Casmi, Turyadi, bos Chasmi, mayoritas pekerjanya adalah wanita, yaitu 35 orang dari total 50 pekerja. Laki-laki 51 tahun yang biasa disapa Pak Manis ini merupakan pimpinan kelompok buruh tani ini.

Turyadi menjelaskan, untuk waktu kerja, tidak ada perbedaan antara buruh laki-laki dan perempuan, namun dalam beberapa pekerjaan, buruh wanita memperoleh pembagian tugas yang sesuai. Ketika panen, wanita bertugas memotong dan mengumpulkan padi di petak sawah, yang laki-laki bertugas mengangkat padi ke tempat timbunan.

Masih menurut Turyadi, kesehatan para pekerja juga dia perhatikan dengan terbiasa membawa obat-obatan yang diperlukan. “Biasanya, jika ada yang sakit, saya suruh istirahat atau diantar pulang, karena lokasi bekerja tidak menentu. Kami bekerja dari sawah satu, ke sawah yang lain,” ujarnya.

Maklum, dalam Kelompok Tani Putra Manohara, ansuransi kerja seperti layaknya di perusahaan, belum ada. “Wong ini hanya kelompok bentukan atas inisiatif sendiri, jadi tidak ada ansuransi. Tapi, rata-rata pekerja memiliki kartu BPJS atau KIS yang diberikan pemerintah,” kata Turyadi dengan logat khas Jawa.

Casmi, adalah potret buruh tani di lumbung beras Sulawesi Utara. Jasa Casmi dan ribuan buruh wanita di daerah ini, jelas tidak diberi imbalan seperti hal buruh formal yang bekerja di industri besar.

Setiap tahun, khusus Dumoga Utara, dari 6.725 hektare sawah, menyuplai 38.104 ton beras untuk 2018. Daerah Kabupaten Bolaang Mongondow, menurut data 2016, Bolmong Menyuplai 182.259 ton beras, jumlah tersebut mampu memenuhi kebutuhan beras 7 kabupaten/kota di daerah Sulawesi Utara.

Buruh Wanita dan Harapan Masa Depan

Data di Kantor Balai Penyuluh Pertanian (BPP) Dumoga Utara, dari 4.153 Kepala Keluarga (KK), 2.859 adalah keluarga yang berprofesi sebagai buruh tani.

Selain sebagai warga transmigran, ribuan warga di daearh ini hanya menggantungkan hidup dari persawahan. Meskipun akses kepemilikan sawah hanya dikuasai segelintir orang.

Casmi bersama para perempuan buruh di Desa ini seakan tidak ada pilihan lain. Lahan tersedia hanya membolehkan mereka untuk jadi buruh.

Dari data yang diperoleh, kepemilikan lahan persawahan hanya dikuasai oleh 25 persen warga setempat. Selebihnya dikuasai oleh para juragan tanah.

“Biarlah hanya kami yang bekerja seperti ini, akan tetapi, kami akan berjuang untuk anak kami, agar mereka memperoleh penghidupan yang layak. Tidak harus turun ke tempat kerja yang tidak memiliki harapan untuk berkembang,”ujar Casmi.

Dia menuturkan, akan berjuang sekuat tenaga agar anaknya bisa lulus di Sekolah kesehatan. Dia tidak ingin anaknya ikut-ikutan bekerja di sawah jadi buruh tani.

“Pekerjaan ini sebenarnya bukan pilihan hidup, tapi apa daya, keadaan yang memaksa kami menekuni pekerjaan ini,” ujar Casmi dengan nada pasrah. (*)