Terkini

Torout, Potret Eksistensi Suku Mongondow di Lembah Wulur Maatus

×

Torout, Potret Eksistensi Suku Mongondow di Lembah Wulur Maatus

Sebarkan artikel ini

Oleh: Supardi Bado

SATUBMR,SEJARAH – Sejenak kita menelusuri Suku Mongondow yang menetap dan bermukim di lembah Wulur Maatus ( Tompaso Baru-Maesaan) , Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara. Keberadaan mereka, sering dikaitkan dengan kehebatan ekspansi Kerajaan Bolaang Mongondow (Kingdom of Boelang) waktu itu.

Suku Mongondow tak seperti suku Bajo, merantau dan hidup di daerah yang mereka singgahi. Jejak perjalanan Suku Mongondow hanya terlihat saat mereka kawin dengan  putri raja di daerah yang mereka datangi.

Namun, ada satu kelompok identitas Suku Mongondow yang berhasil tinggal dan menetap di satu lokasi, meski daerah itu saat ini tak dihuni mayoritas orang Suku Mongondow. Mereka bermukim di antara Sungai Ranoyapo dan Sungai Moyondog. Daerah itu disebut Desa Torout.

Asal nama Torout berasal dari dua kata, Tou (Minahasa) yang berarti manusia dan Raot (Mongondow) yang berarti ikat. Artinya manusia dalam satu ikatan.

Perang Pontodon

Suku Mongondow di Torout berawal dari kisah perjalanan 20 orang yang mengungsi akibat perang yang dikenal sejarah perlawanan rakyat atas penjajahan Belanda, Perang Pontodon.

Menurut cerita, pada abad ke 18, Belanda sudah berada daerah Bolaang Mongondow. Tujuannya satu, mencari rempah-rempah dan emas. Tahun 1891, Belanda terlibat konflik dengan rakyat. Terjadi selisih paham antara warga Tudu in Bakid saat menjual gula merah. Penjual gula merah ini dicurigai sebagai mata-mata oleh Belanda hingga mendapat perlakuan kasar. Rakyat yang mengetahui hal tersebut tidak diam dengan lakukan perlawanan hingga beberapa orang ditawan dan ikut disiksa.

Kekejaman Belanda ini kemudian memicu perlawanan rakyat yang dipimpin Inde’ Sopina, wanita pemberani yang dikenal memiliki kesaktian. Berkat kecekatan Inde Sopina, beberapa tahanan berhasil dibebaskan. Selain Inde Sopina, perang atas Belanda tersebut juga dipimpin Abo Kui Mokoginta. Perlawanan tersebut membuat Belanda murka dan mengejar Inde’ Sopina bersama pengikutnya.

Karena terancam, Inde’ Sopina tergabung dalam 20 orang memilih mengasingkan diri. Maka dimulailah perjalanan tersebut. Diantara mereka ada yang bermarga Mokoginta, Aringking, Mokoagow, Molantung, Mokodompit. Dikisahkan, Abo Kui Mokoginta tidak mengasingkan diri dan memilih menetap setelah mendapat perlindungan dari Raja Bolaang Mongondow Riedel Manuel Manoppo.

Perjalanan 20 orang ini menyusuri puncak Poopo Bolmong -Insil- Modoinding- Tumani hingga Tompaso Baru (Waktu itu belum ada nama desa). Perjalanan mereka terhenti sampai ke Poopo Minahasa Selatan saat ini. Mereka kemudian disambut oleh pemimpin Poopo bernama Bintang .

Sepanjang perjalanan, 20 orang Suku Mongondow ini hidup berpindah-pindah sambil mencari daerah menetap yang tepat. Untuk memastikan tanah yang akan tempati, mereka sering ‘Mencicipi’ tanah yang dilewati.

Rasid Paputungan, Tokoh Desa Tourout mengatakan, rombongan tersebut akhirnya memilih menetap di Torout. Torout merupakan desa paling tua di Kecamatan Tompaso Baru dengan pemimpin pertama bernama Haebat Mokoginta tahun 1902.

Dia menambahkan, perjalanan Suku Mongondow Inde Sopina ini bisa dilihat dari penemuan Lotung (Lesung). Lesung dengan tinggi satu meter tersebut saat ini masih ada, meski telah diklaim oleh Suku Minahasa sebagai peninggalan nenek moyang mereka.

Foto lesung (kiri belakang) di Pinaesaan.

Di sekitaran Torout, juga terdapat batu disebut Ponikion atau Batu Pinotakan. Batu ini diyakini peninggalan Suku Mongondow saat itu. Situs peninggalan berupa Lotung dan Batu Pinotakan ini masih misterius. Batu tersebut dikumpulkan oleh Suku Minahasa di satu tempat bernama Taman Purbakala Niatakan (Watu Pahreuan dan Watu Tiwa).

Hukum Tua (Kepala Desa) Torout dua periode, Maulud Sabar mengatakan, jejak Suku Mongondow juga bisa ditemui di Desa Tumani, jarak satu kilo meter dari Torout. Ada satu pohon Malasay, berukuran besar. Konon, pohon ini sering dijadikan orang Mongondow lakukan Monibi atau tempat ritual pengobatan.

“Saat pemekaran Desa Tumani menjadi Tumani Selatan, para tua-tua kampung mengusulkan daerah itu dengan nama Desa Ponibian (Pengobatan), namun karena muncul perdebatan, akhirnya dinamakan Desa Tumani Selatan,” ujar Maulud.

Menurut Maulud, Desa Torout mayoritas penduduknya Suku Mongondow. Orang dewasa hingga anak-anak sehari-hari menggunakan bahasa Mongondow. Meskipun Maulud keturunan Jawa Tondano, Dia mengaku telah menikah dengan orang Mongondow. Maulud dan anak-anaknya  lancar berbahasa Mongondow.

Rumah warga Torout

Maulud menambahkan, untuk hajatan pernikahan, tetap menggunakan Adat Mongondow, mulai dari Moguman hingga prosesi adat Mogama‘.

Saat ini Desa Tourout dihuni 3000-an jiwa. 80 persen penduduknya adalah Suku Mongondow. Sisanya campuran Minahasa dan jawa.

Jika dikaitkan dengan kekerabatan, orang-orang Mongondow di Torout saat ini rata-rata berasal dari Pontodon, Pangian, Sia dan Bilalang. Hal ini dibuktikan dengan dialek Mongondow khas Tudu in Bilalang bo Tudu in Bakid.

Dari Kotamobagu menuju Desa Tourout ini berjarak 56,4 Kilo Meter, bisa ditempuh perjalanan kurang lebih 1 Jam 50 menit kendaraan roda dua maupun roda empat. Daerah ini awalnya merupakan kekuasaan Kerajaan Bolaang Mongondow. Namun, daerah ini konon dijadikan sebagai mahar oleh raja karena menikahi gadis Minahasa. Versi lain menyebutkan, daerah ini lepas karena siasat Belanda saat Raja Bolaang Mongondow Salomon Manoppo. Karena terjadi perlawanan rakyat, akhirnya dibuat kesepakatan agar Raja Salomon dipulangkan, batas antara Mongondow dan Minahasa disepakati mulai dari Poigar, Pontak hingga Buyat. (*)