Donald Q. Tungkagi
Direktur The Bolmong Raya Institute
“Seorang kombatan ataupun perwira yang berdarah merah putih harus memiliki keberanian. Tetapi yang terpenting adalah, seorang kombatan harus ikhlas jika sewaktu-waktu dipanggil Tuhan ketika sedang bertugas,”
Demikian ungkap Letnan Jenderal TNI (Purn.) Ahmad Yunus Mokoginta atau biasa juga dikenal sebagai A.Y. Mokoginta yang lahir di Kotamobagu, 28 April 1921)
A.Y. Moginta memulai pendidikan dari AMS pada masa perang pasifik dan menjadi Kopral Kadet KMA (Konninklijk Militaire Academie) Bandung sekitar tahun 1939, Menjadi Kapten TKR pada tahun 1945 bersama dengan AE Kawilarang meski kemudian dituliskan sejarah mereka akhirnya berbeda haluan.
Jasa A.Y. Mokoginta cukup terlihat dari perjalanan karirnya, mulai dari Wakil Komandan KRU X dengan pangkat Letnan Kolonel, menjadi Komandan Hijrah Divisi Siliwangi, menjadi Komandan CPM Djawa.
Saat pendudukan Jepang dan masa-masa menjelang dan setelah Proklamasi, terlibat dalam gerakan pemuda. A.Y. Mokoginta bergerilya di Jawa Barat saat perang Revolusi. Pernah menajdi ajudan Jenderal Urip Sumohardjo. Serta pernah menjabat Komandan Polisi Militer Daerah Jawa, menggantikan Gatot Soebroto (1948-1950).
A.Y. Mokoginta juga pernah menjabat Panglima Teritorium VII, Anggota Fact Finding Commission, Komandan SSKAD/SESKOAD Kolonel, Command and General Staff College Fort Leavenworth Kansas USA Brigjend, Deputy Menpangad, Pangandahan Sumatera Mayjend, Dubes Luarbiasa dan berkuasa penuh untuk Mesir, Libanon, Sudan dan Maroko. Ia juga menggagas lahirnya Forum Study dan Komunikasi AD. Menjadi anggota Yayasan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi.
Bahkan diusia sepuh, A.Y. Mokoginta masih menunjukkan sikap patriotik dan semangat keberanian. Terbukti dari keterlibatannya dalam Penandatangan Petisi 50 yang menggugat Soeharto pada 5 Mei 1980.
Tirto.ID dalam ulasan berjudul “Petisi 50: Menggugat Soeharto yang Menyalahgunakan Pancasila” disebutkan, tidak kurang dari 50 tokoh nasional menandatangani surat protes yang kemudian dibacakan di depan para anggota DPR-RI di Jakarta sepekan berselang. Isi Petisi 50 jelas, lugas, dan tentu saja berani: menggugat Presiden Soeharto lantaran telah menodai serta menyalahgunakan filosofi bangsa sekaligus dasar negara, Pancasila.
Ke-50 orang bernyali tinggi itu terdiri dari tokoh-tokoh nasional yang merasa prihatin dengan manuver Soeharto demi melanggengkan kekuasaannya. Ada Mohammad Natsir, Kasman Singodimedjo, S.K. Trimurti, M. Jasin, A.H. Nasution, Hoegeng Imam Santoso, Syafruddin Prawiranegara, Ali Sadikin, dan deretan sosok besar lainnya. Beberapa tokoh diantaranya dalam proses pengusulan untuk mendapat gelar pahlawan nasional.
Pada tahun 1949, ketika terjadi penyerahan kekuasaan dari Belanda ke Republik Indonesia, Mokoginta dipiliih sebagai perwira yang bertanggung jawab atas Daerah Teritorial Indonesia Timur. Penyerahan dilakukan secara langsung oleh Kolonel Schootborg, seorang perwira KNIL.
Pada tanggal 20 Juni 1950 dibentuk tujuh Teritorium di seluruh Indonesia. Ia ditunjuk untuk memimpin Teritorium VII yang berkedudukan di Makassar dengan pangkat Letnan Kolonel. Teritorium VII/Indonesia Timur membawahi wilayah Sulawesi dan Maluku dan merupakan cikal bakal lahirnya Kodam VII/Wirabuana (kini Kodam XIV/Hasanuddin).
Pada Agustus 1950 istilah Teritorium VII diubah menjadi Tentara dan Teritorium (TT) VII/Wirabuana. Pada saat itu Letkol A.Y. Mokoginta menyerahkan tongkat Komando kepada komandan baru A.E. Kawilarang.
Saat menjabat sebagai Komandan Tentara Tentorium di Indonesia Timur, A.Y. Mokoginta bersama stafnya ditangkap oleh pasukan bekas tentang KNIL yang dilebur kedalam APRIS dibawah pimpinan Kapten Andi Azis.
Selain itu hasil nyata kerja A.Y. Mokoginta selama bekerja di pulau sumatra juga patut dijempol. A.Y. Mokoginta menjadi penginisiator lahirnya lembaga sosial yang mewakili kepentingan masyarakat adat di Sumatera Barat yang diberi nama Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM).
A.Y. Mokoginta juga membuat suatu konsep pembangunan sumatera secara menyeluruh yang belakangan dikenal sebagai Plan Mokoginta. Karena jasanya ini ia sangat dikenang tidak hanya masyarakat Bolaang Mongondow Raya melainkan masyarakat Sumatera.
A.Y. Mokoginta juga turut memprakarsai pemugaran makam Amir Hamzah yang oleh sastrawan H.B. Jassin dijuluki Raja Penyair Pujangga Baru.
A.Y. Mokoginta wafat di Jakarta, 11 Januari 1984 pada umur 62 tahun dan dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata Jakarta. Sejak menetap di Jakarta sejak 2015 hingga saat ini, saya selalu menyempatkan diri ziarah ke makamnya.
Sejujurnya masih banyak hal yang ingin saya tuliskan tentang salah satu tokoh kebanggaan masyarakat Bolaang Mongondow Raya ini. Tentunya butuh ruang lebih untuk mengulas peran dan jasanya. Semoga artikel singkat ini cukup menjadi pengetahuan awal agar generasi muda di Bolaang Mongondow Raya kembali mengingatnya.
Ingat kebesaran identitas kita juga tercermin dari bagaimana penghargaan terhadap jasa para pahlawan. Selamat Hari Pahlawan 10 November 2020. Inggai kita motobatu molintak kon Bolaang Mongondow Raya. (***)