By: (Reza D. Tohis, Presidium KAHMI Bolmong)
Nietzsche memperingatkan bahwa “kematian Tuhan” akan membawa pada nihilisme, jika manusia tidak menemukan cara baru untuk menciptakan nilai baru. Sama halnya dengan peringatan tersebut, “Kematian Bogani” menandakan bahwa diperlukan cara baru untuk menata kembali, atau bahkan membangun, kondisi sosio-politik, serta pola kehidupan masyarakat Bolaang Mongondow, berdasarkan nilai-nilai yang baru.
Dalam konteks tersebut, Nietzsche menawarkan konsep Übermensch yang merupakan gambaran mengenai individu yang mampu memanfaatkan ‘kehendak berkuasa’ (Will to Power) yang dimilikinya untuk menciptakan nilai-nilai baru dalam mengatasi tantangan eksistensial.
Übermensch dicirikan dengan kekuatan kehendak, keberanian, kreativitas dan kemampuan untuk hidup sesuai dengan prinsip-prinsip yang diciptakannya sendiri. Dengan kata lain, Übermensch lebih berkaitan dengan pengutuhan kedirian dan bersifat personal, ke-aku-an.
Berbeda dengan Übermensch, “Filsuf Raja”, konsep yang diformulasikan oleh Plato, Filsuf Yunani Antik, dalam karyanya “Politeia” (Republik), merupakan gambaran mengenai individu yang memiliki kebijaksanaan filosofis mendalam dan kemampuan untuk memerintah dengan adil dan bijaksana.
Oleh karena itu, Filsuf Raja dicirikan dengan pendidikan dan pengalaman, pengetahuan dan kebijaksanaan, serta keadilan dan keutamaan moral.
Dari sini, menjadi jelas bahwa Filsuf Raja lebih cocok dengan problem Bolaang Mongondow di atas tadi. Karena Übermensch lebih berfokus pada pencapaian individual dan penciptaan nilai-nilai pribadi, sementara Filsuf Raja berfokus pada kepemimpinan yang bijaksana dan adil demi kesejahteraan masyarakat.
Tujuan dari Übermensch adalah pencapaian potensi individual tertinggi, sementara tujuan Filsuf Raja adalah menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera melalui kepemimpinan yang bijaksana. Bolaang Mongondow membutuhkan Filsuf Raja.