Donald Qomaidiansyah Tungkagi
Alumni jurusan Islamic Studies di Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta
Viral video dugaan perusakan sebuah bangunan musalah–berita lain ditulis balai pertemuan–di Perum Agape, Kelurahan Tumaluntung, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara, beberapa waktu lalu semoga tidak sampai mencoreng citra rukun wilayah ini. Torang samua basudara dan Sulut sulit disulut (konflik) karena solid, semoga tak sebatas slogan pamungkas .
Saya yakin bangsa kita sudah cukup dewasa menangani kasus seperti ini. Kasus perusakan dan pelarangan rumah ibadah bukan kali ini. Pembakaran masjid di Tolikara Papua, pembakaran gereja di Singkil Aceh, pelarangan pendirian gereja di Yogyakarta dan Semarang, pelarangan pendirian Pura di Bekasi, hingga kasus gereja GKI Yasmin Bogor yang tak kunjung usai, hanya segelintir dari kasus serupa yang muncul ke permukaan.
Kasus-kasus tersebut sebenarnya menunjukkan dikotomi mayoritas-minoritas yang sejak awalnya memang bermasalah. Mayoritanisme ini penyakit yang kini jadi problem kebangsaan di era gejala menguatnya kembali politik identitas yang acap kali meminggirkan kelompok minoritas.
Konkritnya, otoritas mayoritas sebagai pengelola dan penentu kebijakan merupakan kecenderungan umum di sejumlah daerah di Indonesia. Sangat jelas warna kebijakan politik kita ditentukan dan dikendalikan oleh mayoritas ( majority rule ).
Karena ditentukan oleh logika mayoritas, akibatnya di sejumlah daerah banyak muncul kebijakan yang kurang berpihak bahkan meminggirkan keberadaan kelompok minoritas. Kita dipelajari lebih detail, salah satu faktor sulitnya minoritas mendirikan rumah ibadah di beberapa daerah seringkali terkendala logika mayoritas ini.
Padahal kita semua tahu bahwa konstitusi kita menegaskan setiap warga negara dijamin hak-haknya termasuk kebebasan dalam beragama atau berkeyakinan ( freedom of religion ). Kebebasan beragama ini hak dasar manusia yang tidak dapat
ditangguhkan atau dikurangi dalam situasi dan kondisi apapun
( non-derogable rights ).
Persoalannya adalah bagaimana memadukan antara
kepentingan mayoritas dan melindungi hak-hak minoritas. Menjawab pertanyaan di atas tentu bukan perkara mudah. Persoalan
relasi mayoritas dan minoritas tidak cukup hanya berkutat pada
salah satu di antara keduanya. Ia melibatkan dua hal penting;
kesiapan kultur pemikiran warga baik mayoritas atau minoritas sebagai subyek utama.
Jika ditilik secara mendalam, salah satu prasyarat sistem demokrasi adalah penghargaan dan perlindungan terhadap kelompok minoritas. Demokrasi intisarinya menganut prinsip kesamaan dan keadilan bagi semua warga negara.
Sayangnya, implementasi prinsip kesamaan dan keadilan ini yang seringkali luput dari perhatian kita. Sadar atau tidak, kita sering sulit bersikap adil terkait kasus-kasus pelarangan rumah ibadah. Yang ada, kita tampak begitu cepat marah dan mengutuk jika rumah ibadah kita dirusak di daerah dimana kita jadi minoritas, namun diam saja ketika melihat rumah ibadah saudara kita dibakar dan dilarang di wilayah saat kita jadi mayoritas.
Jadi autokritik juga, sebagai muslim dengan pemeluk mayoritas di negara ini, kita bisa memutus lingkaran intoleransi ini dengan memulai dari bersikap adil. Adil tidak hanya begitu cepat marah mendapat informasi bahwa musalah dirusak di wilayah muslimnya minoritas, namun juga ikut marah dan mengutuk ketika gereja dibakar, pura dan vihara dilarang di wilayah dimana muslim sebagai mayoritas.
Sebagai mayoritas, sudah sepatutnya kita berusaha memberi contoh mengayomi minoritas di wilayah kita masing-masing. Ini cara terbaik yang paling mungkin saat ini untuk melindungi saudara kita di daerah lain saat mereka jadi minoritas juga.
Memang berat, saat kita mayoritas kemudian diminta menurunkan ego mengayomi minoritas. Berat bukan berarti tidak mungkin. Pendiri bangsa kita telah mencontohkan sikap itu ketika mengganti rumusan sila pertama dalam piagam Jakarta; “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Menurut Hazairin (1970:58), rumusan sila itu memang merupakan bukti kelapangan dada tokoh-tokoh Islam.
Toleransi pun demikian, lebih mudah jika mayoritas yang meneladankan. Tanpa keteladanan mayoritas itu, toleransi sangat sulit terwujud dalam kenyataan.
Bagi saya, toleransi juga terkait erat dengan keadilan. Adil ( ta’adul ) dalam pengertian seimbang ( tawazun ) dan moderat ( tawasuth ) saat mengambil sikap, serta lapang dada yang dicirikan dengan tidak mudah terprovokasi apalagi bersikap ekstrim dengan dalih membela agama. Lebih dari itu, adil adalah perintah agama kita. ‘Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa’ (QS Al Maidah:8).
Terkait kasus dugaan perusakan musalah di Minahasa Utara, secara moral saya mengajak kita semua menenangkan diri. Mari kita percayakan semua kepada pihak yang berwajib untuk mengusut tuntas kasus ini, hingga mengadili para otak pelaku intoleransi.
Kita doakan juga semoga para tokoh agama, masyarakat, pemerintah, dimudahkan dalam berdialog untuk mencari solusi terbaik yang tidak bertentangan dengan konstitusi. Tabe’ (***)