Oleh: *Donald Q. Tungkagi*
~_Akademisi dan Direktur The Bolmongraya Institute_
*Apresiasi Festival Budaya*
Di tengah gemuruh politik identitas yang kerap memecah belah, Bupati dan Wakil Bupati Bolaang Mongondow, Yusra Alhabsyi dan Dony Lumenta, justru memilih jalan lain: Festival Budaya Bolmong. Saya kira ini patut diapreasi, sebuah langkah yang pastinya tak sekadar seremonial, melainkan “political statement” bahwa kebudayaan adalah ruang di mana perbedaan tak lagi menjadi ancaman, melainkan kekuatan.
Dalam pidatonya di Festival Mongalupa,
Yusra mengungkapkan “akan membuat Festival Budaya Bolmong yang akan diselenggarakan setiap tahun…” Selanjutnya, “momentum seperti ini, menjadi wadah silaturahmi serta dapat memperkuat rasa persaudaraan bagi kita semua khususnya warga Bolmong yang dikenal dengan Miniatur Indonesia dikarenakan terdapat multi etnis dan agama,” dikutip mediatotabuan.co (13/4/2025).
Sejatinya, dalam narasi tersebut tersirat bahwa festival budaya tahunan ini sebagai “melting pot”, serta kawah candradimuka yang meleburkan berbagai identitas etnis menjadi satu harmoni. Ini bukan sekadar retorika, melainkan “counter-narrative” terhadap politik segregasi yang kerap dijadikan alat oknum tertentu untuk menggerus kohesi sosial.
Di era di mana politik acap kali memanfaatkan sentimen kesukuan, keagamaan, atau kedaerahan, gagasan Festival Budaya hadir sebagai anti-tesis. Ia adalah “public sphere” atau ruang publik ala Habermas, di mana warga tidak lagi berinteraksi sebagai “homo politicus” yang terpolarisasi karena politik, melainkan sebagai “homo ludens”, manusia yang merayakan kebersamaan.
Yusra dan Dony, dengan inisiatif ini, sedang membangun “cultural citizenship”, kewarganegaraan yang tak lagi dibatasi oleh identitas etnis dan agama, melainkan oleh rasa memiliki bersama terhadap Bolaang Mongondow sebagai tempat hidup bersama. Ini penting, sebab di banyak daerah termasuk di Bolmong sendiri, politik elektoral justru mengerdilkan identitas sebagai alat kampanye berebut kuasa.
*Realisasi Visi Ketujuh Yusra-Dony*
Menjadikan festival budaya sebagai agenda tahunan dengan harapan menjadi wadah perjumpaan, perekat persatuan dan kerukunan, merupakan implementasi visi utama Bolmong JUARA (maju dan sejahtera), khususnya visi ketujuh: “Meningkatkan keharmonisan dan toleransi dalam kehidupan masyarakat.”
Bolmong, dengan keragaman etnis seperti: Mongondow, Minahasa, Bali, Jawa, Sangihe, Bugis, dan lain sebagainya adalah miniatur Indonesia. Di sini, kebudayaan bukan sekadar tradisi yang beku, melainkan dialektika yang terus bergerak tanpa henti.
Di wilayah ini banyak sekali festival budaya rutin tahunan, pawai ogo-ogo etnis Bali, tradisi pengucapan etnis Minahasa, tradisi ketupat etnis Jaton, belakangan tradisi ketupat ini diakulturasi dengan berbagai tradisi seperti hari raya Koripot, Mongalupa, Binarundak, dan lain sebagainya.
Intinya, beberapa festival budaya tersebut menjadi ruang di mana identitas tak lagi diklaim secara eksklusif, melainkan dirayakan secara kolektif. Ia menjadi wadah perjumpaan dari berbagai perbedaan, bukan untuk dipertentangkan melainkan agar dapat dirayakan.
Di Bolmong, festival budaya dapat diupayakan menjadi medium untuk mendekonstruksi fiksi-fiksi identitas yang selama ini ditafsirkan kaku. Ketika tarian, musik, dan kuliner dari berbagai etnis dipentaskan bersama, yang terjadi bukanlah komodifikasi budaya, melainkan “dialektika kebudayaan”, proses saling mengakui dan memperkaya.
*Apakah Festival Cukup?*
Tentu, festival bukan solusi final melainkan sebuah “entry point”. Tantangan sebenarnya adalah bagaimana memastikan bahwa semangat “melting pot” ini tidak berhenti di panggung perayaan, tetapi meresap ke dalam kebijakan pemerintahan Yusra-Dony di masa depan sebagai pasangan wajah kerukunan.
Jika kritik adalah bentuk apresiasi tertinggi. Maka, selain kritik kita juga patut memberi apresiasi pada langkah Yusra dan Dony, sambil terus mendorong agar festival budaya tahunan tidak menjadi “spectacle”, sekadar tontonan belaka, melainkan batu pijakan untuk membangun harmoni yang lebih aplikatif dan berdampak nyata.
*Ketika Budaya Menjadi Perekat*
Tahun 2018, saya menulis tesis berjudul “Agama dan Budaya Damai: Studi pada Masyarakat Multireligius Dumoga, Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara” di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Riset saya menyimpulkan bahwa budaya dapat menjadi perekat perdamaian di tengah perbedaan agama di kawasan Dumoga dan Bolaang Mongondow umumnya.
Temuan tersebut menjadi basis akademik yang senafas dengan agenda Festival Budaya sebagai perekat sosial dan perajut kerukunan. Saya yakin, Festival Budaya yang diagendakan bukan sekadar acara melainkan manifesto pernyataan bahwa di tengah keretakan sosial yang mengglobal belakangan ini, Bolmong memilih untuk merajut kembali tenun kebersamaannya.
Semoga festival budaya ini bukan sekadar seremoni, melainkan “genealogy of harmony” sebagai jejak langkah yang suatu hari nanti akan dikenang sebagai titik di mana Bolmong memutuskan untuk tidak terpecah, tetapi justru menemukan kekuatan dalam keragaman budayanya. (***)