Opini

Apresiasi Kampus Moderasi: Sebuah Harapan yang Layak Diperjuangkan

×

Apresiasi Kampus Moderasi: Sebuah Harapan yang Layak Diperjuangkan

Sebarkan artikel ini

Oleh: Donald Q. Tungkagi

Akademisi & Instruktur Nasional Moderasi Beragama

Bupati Bolaang Mongondow, Yusra Alhabsyi, baru saja melontarkan sebuah ide yang bukan hanya progresif, tapi juga provokatif dalam arti positif, yakni mendirikan “Kampus Moderasi”. Gagasan ini tercetus dalam pertemuan sederhana, saat Bupati Yusra Alhabsyi menerima kunjungan Rektor Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Manado, Dr. Olivia Cherly Wuwung dan jajarannya di ruang kerja bupati pada Selasa, 6 Mei 2025.

Awalnya, diskusi hanya membahas rencana pembukaan kampus dan kelas jauh IAKN. Tapi sejarah sering kali lahir dari percakapan yang tidak direncanakan. Di tengah perbincangan itu, Bupati Yusra memunculkan ide besar, menyatukan IAKN dan IAIN Manado dalam satu kawasan di Bolaang Mongondow, sebuah ruang intelektual yang melampaui sekat sektarian.

“Inilah yang disebut kampus moderasi,” ujar Yusra. “Kami ingin membangun institusi pendidikan yang tidak hanya mencerdaskan, tapi juga memperkuat nilai-nilai kebangsaan dan toleransi.”

Di tengah arus zaman yang sering kali menghadirkan fragmentasi, inisiatif mendirikan “Kampus Moderasi” hadir bagai setitik cahaya harapan. Langkah Bupati Yusra Alhabsyi, yang semula bertujuan menghadirkan kampus di Bolaang Mongondow, bertransformasi menjadi visi yang lebih luas dan mendalam. Tentu saja, ini bukan sekadar proyek fisik melainkan manifestasi dari visi kepemimpinan yang sadar akan urgensi zaman.

Rektor IAIN Manado, Prof. Ahmad Rajafi, juga mengapresiasi gagasan ini. Bahkan baginya lokasi di Dumoga Raya merupakan pilihan yang strategis. Dumoga adalah living laboratory toleransi.

Menjadi Daerah Pelopor

Bolaang Mongondow bersiap mencatat sejarah sebagai pelopor, daerah pertama di Indonesia yang menghadirkan perguruan tinggi multireligius dalam satu kawasan. Kampus Moderasi akan menjadi simbol sekaligus instrument, simbol dari kesadaran pluralisme, dan instrumen untuk membentuk generasi intelektual yang tidak hanya taat dalam agama, tapi juga toleran dalam kehidupan.

Dalam dunia yang semakin terpolarisasi oleh identitas, gagasan tentang kampus yang mengintegrasikan perguruan tinggi Islam (IAIN) dan Kristen (IAKN) dalam satu kompleks adalah sebentuk keberanian. Bukan hanya keberanian logistik, melainkan keberanian epistemik, bagaimana dua tradisi keagamaan yang kerap dipersepsikan berseberangan bisa berdialog bukan pada ranah dogma, tetapi pada ranah keilmuan yang objektif dan terbuka.

Ketika IAIN dan IAKN berdiri berdampingan, yang terjadi bukan hanya efisiensi lahan, melainkan pertukaran cultural capital, mahasiswa Muslim dan Kristen akan belajar tidak hanya dari buku teks, tetapi dari kehidupan sehari-hari, bagaimana shalat dan misa bisa berlangsung dalam satu lingkungan tanpa kecurigaan.

Dumoga Ruang Bersama

Dumoga Raya, yang direncanakan menjadi rumah bagi kampus ini, akan mencatat sejarah. Tahun 2018, saya menulis buku “Indonesia Mini di Lembah Dumoga”, buku yang mengapresiasi betapa multikultur dan multireligiusnya wilayah ini. Di Dumoga, toleransi bukanlah konsep abstrak, melainkan sebuah praksis kehidupan yang tumbuh dari interaksi dan pemahaman yang mendalam akan perbedaan.

Di Dumoga nanti, moderasi menjadi praktik nyata yang mengakar. Bayangkan, dua institusi yang mewakili tradisi teologis berbeda, tetapi bersatu dalam semangat kebangsaan dan keindonesiaan. Ini adalah antitesis dari narasi radikalisme yang kerap menyusup ke dunia pendidikan.

Filosof Jürgen Habermas pernah berbicara tentang communicative action, di mana masyarakat mencapai kesepahaman melalui dialog yang setara. Kampus Moderasi bisa menjadi ruang di mana teori ini diuji, apakah mahasiswa dari latar belakang berbeda benar-benar bisa berinteraksi tanpa hegemoni? Jika berhasil, ini akan menjadi model bagi Indonesia bahwa pluralitas bukanlah ancaman, melainkan kekuatan.

Tantangan dan Harapan

Saya pribadi tidak sekadar mengapresiasi gagasan kampus moderasi ini. Saya justru ingin menantangnya, agar benar terealisasi nyata. Kampus moderasi harus lebih dari sekadar gedung dan kurikulum, ia harus menjadi ruang publik rasional di mana agama menemukan kembali relevansinya, bukan sebagai identitas yang memisah, tetapi sebagai kebijaksanaan yang menyatu.
Tentu saja, jalan menuju kampus moderasi tidak selamanya mulus. Pertama, mungkin ada tantangan kurikulum, bagaimana merancang mata kuliah yang tidak mengaburkan identitas agama masing-masing, tetapi tetap menekankan nilai-nilai kemanusiaan universal. Kedua, ada risiko politisasi, kelompok tertentu dapat menggunakan proyek ini untuk kepentingan pragmatis.

Meski begitu, tantangan ini justru memperkuat harapan dengan optimisme yang harus tetap dijaga. Dukungan dari kedua belah pihak, IAKN melalui Rektor Dr. Olivia C Wuwung dan IAIN melalui Rektor Prof. Ahmad Rajafi menunjukkan adanya kemauan politik-akademis untuk saling bersinergi. Jika berhasil, Bolaang Mongondow tidak hanya akan tercatat sebagai daerah pertama dengan kampus moderasi, tetapi juga sebagai episentrum gerakan pendidikan yang memadukan kecerdasan intelektual dan kematangan spiritual.

Apresiasi untuk Bupati

Saya melihat inisiatif “Kampus Moderasi” di Bolaang Mongondow sebagai undangan untuk ikut serta dalam menatap masa depan cerah keberagaman. Ini adalah eksperimen kepemimpinan berani yang menantang asumsi tentang batasan identitas dan kemungkinan harmoni.

Gagasan Bupati Yusra ini patut diapresiasi bukan hanya sebagai sebuah kebijakan, tetapi sebagai pernyataan filosofis, bahwa pendidikan tidak hanya mengajarkan kita cara berpikir, tetapi juga cara hidup bersama. Barangkali, di sinilah hakikat moderasi yang sesungguhnya, bukan jalan kompromi, tetapi jalan tengah yang menyeimbangkan akal dan hati, iman dan ilmu. Dan Bolaang Mongondow, dengan segala kerendahan hatinya, tengah menulis babak baru dalam sejarah pendidikan Indonesia.

Kampus Moderasi adalah eksperimen sosial, dan seperti semua eksperimen, ia menyimpan risiko. Akan ada tantangan dari birokrasi, dari konservatisme, dari fanatisme. Tapi seperti kata bijak bestari: “Yang masuk akal hari ini, dahulu pernah dianggap mustahil.” Untuk wacana kampus moderasi ini, tak berlebihan jika kita apresiasi angkat topi sundul langit untuk Bupati Yusra Alhabsyi.

Kini, sejarah menunggu langkah berikutnya. Dan kita semua akan menjadi saksi apakah ide ini akan tinggal sebagai narasi manis dalam berita, atau benar-benar menjelma menjadi fakta peradaban. (*)