SATUBMR,MANADO – Pemerintah terus berupaya melakukan kebijakan pemerataan ekonomi dengan 3 (tiga) pilar utama yaitu lahan, kesempatan, dan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM).
Kebijakan ini dirancang untuk menyiapkan ekonomi nasional lolos dari jebakan middle income trap menuju status sebagai negara maju. Terkait lahan, Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam, dan Lingkungan Hidup Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Montty Girianna menuturkan, kebijakan reforma agraria dilaksanakan melalui legalisasi aset tanah masyarakat, redistribusi lahan, pemberian akses pemanfaatan lahan kehutanan dengan skema perhutanan sosial, dan moratorium perkebunan sawit.
“Target Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) mencapai 9 juta hektar yang terdiri dari legalisasi aset dan redistribusi aset masing – masing seluas 4.5 juta hektar. Untuk legalisasi ditargetkan diselesaikan 3.9 juta hektar sertifikasi tanah melalui program kebijakan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dan 0.6 juta hektar legalisasi lahan-lahan transmigrasi,” ujar Montty dalam talkshow “Pemanfaatan Hutan untuk Kemandirian Ekonomi”, Sabtu (27/10) di Manado, Sulawesi Utara.
Sedangkan untuk redistribusi ditargetkan 4.1 juta hektar lahan dari pelepasan kawasan hutan, serta 0.4 juta hektar dari lahan terlantar dan ex-Hak Guna Usaha (ex-HGU). Untuk perhutanan sosial mencapai 12.7 juta hektar yang diperoleh dari kawasan hutan termasuk yang dikelola oleh Perusahaan Hutan Negara Indonesia (Perhutani) dan Industri Hutan Negara (Inhutani).
“Melalui reforma agraria, masyarakat petani tidak hanya diberikan lahan usaha, tetapi juga diberikan program pemberdayaan ekonomi seperti bantuan sarana produksi, modal usaha, pemasaran, dan keterampilan,” terang montty.
Sementara itu, untuk pengelolaan perhutanan sosial terbagi menjadi dua yaitu di Jawa pada lahan perhutani dan di luar Jawa dilaksanakan dengan mempertimbangkan luas lahan yang dapat diakses, jangka waktu pengelolaan, sistem pengelolaan dan subyek perhutanan sosial.
“Pengelolaan perhutanan sosial ini pun didukung oleh ketersediaan offtaker atau avalis, modal usaha dengan bunga 9% oleh Bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN), infrastruktur melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT), serta pendampingan dan penerapan skema bagi hasil yang lebih bermanfaat kepada petani,” kata Montty.
Sebagai informasi, capaian perhutanan sosial per tanggal 16 Oktober 2018 dari target seluas 12 juta hektar, realisasi telah mencapai angka 2.06 juta hektar dengan rincian 2.02 juta hektar berada di luar pulau Jawa dan 41.4 ribu hektar berada di pulau Jawa (lahan Perhutani).
Untuk pengembangan ekonomi, masyarakat akan dibuatkan model ekonomi klaster. Petani atau penggarap tidak hanya diberikan hak milik atas lahan, tetapi juga disediakan akses permodalan, pasar, serta keterampilan yang diperlukan. Penggarap atau petani akan mendapatkan dukungan, baik melalui Dana Desa atau sumber lainnya mulai dari penyediaan alat produksi pertanian, bibit unggul, dan penyediaan fasilitas pasca panen seperti pengering ataupun gudang.
Di samping itu, mereka akan mendapatkan fasilitas penyediaan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari Bank BUMN, dan mendapatkan jaminan pemasaran untuk hasil produksinya. BUMN dan perusahaan besar ditugaskan untuk menjadi avalis dan offtaker dan memberikan pendampingan.
“Komoditas yang diusahakan pada perhutanan sosial diarahkan untuk dikelola dengan sistem klaster ekonomi sehingga skala ekonomi tercapai dan memudahkan pemasaran hasil produksi petani perhutanan sosial. Untuk itu, usaha yang dikembangkan oleh masyarakat sangat beragam, baik berupa komoditas kehutanan, pertanian, perikanan maupun jasa lingkungan dan pariwisata. Sehingga kesejahteraan masyarakat meningkat,” jelas Montty. D
Di sisi lain, terkait kebakaran hutan dan lahan, Montty mengungkapkan, sejak tahun 2016, upaya pencegahan karhutla sudah dilaksanakan.
Tim