SATUBMR,MANADO — Ketua Panitia Khusus (Pansus) Pemberdayaan Kepemudaan DPRD Sulawesi Utara, Eldo Wongkar, menargetkan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) inisiatif ini dapat disahkan menjadi peraturan daerah (Perda) dalam waktu dua bulan. Hal itu disampaikan saat diwawancarai awak media di Ruang Serbaguna DPRD Sulut, Senin (26/5/2025) lalu.
Dalam proses penyusunannya, DPRD Sulut berencana mengundang organisasi kepemudaan (OKP) untuk terlibat dalam forum diskusi kelompok terarah (FGD). Langkah ini dimaksudkan untuk menyerap masukan dan tanggapan dari berbagai pihak demi menyempurnakan produk hukum yang diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan pemuda di Provinsi Sulawesi Utara.
Menanggapi hal tersebut, Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Sulut menyampaikan sikap kritis terhadap substansi dan arah penyusunan regulasi tersebut.
Ketua DPD GMNI Sulut, Taufik Poli, menyambut baik inisiatif DPRD. Namun, ia mengingatkan bahwa Ranperda yang tengah digodok tidak boleh berhenti pada aspek teknis dan administratif semata.
“Hal penting yang menjadi catatan kami adalah bahwa perumusan Ranperda Kepemudaan ini harus mampu menjawab persoalan struktural yang dihadapi mayoritas pemuda Sulut saat ini, yakni tingginya angka pengangguran dan terbatasnya lapangan kerja,” ujar Taufik kepada media.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, tingkat pengangguran terbuka di Sulawesi Utara tercatat sebesar 5,85 persen, dengan mayoritas penganggur berasal dari kelompok usia muda. Angka ini menempatkan Sulut sebagai provinsi dengan tingkat pengangguran tertinggi keenam di Indonesia.
“Jika Perda ini hanya berfokus pada program atau kegiatan tanpa menyentuh akar persoalan ekonomi yang dihadapi pemuda, kami khawatir regulasi ini hanya akan menjadi produk hukum yang tidak berdampak nyata,” lanjutnya.
GMNI Sulut juga menekankan pentingnya pelibatan aktif organisasi kepemudaan dalam proses penyusunan Ranperda. Mereka mendorong agar DPRD tidak sekadar menghadirkan OKP dalam forum FGD secara formalitas, tetapi juga membuka ruang diskusi substansial yang mampu menampung kritik dan masukan dari kalangan pemuda—sebagai pihak yang paling terdampak oleh kebijakan ini.
“Penyusunan Ranperda harus dilakukan secara partisipatif, terbuka, dan inklusif. Jangan sampai hanya menjadi pemenuhan target legislasi tanpa keberlanjutan dan keberpihakan yang nyata,” tutup Taufik.
Dengan dorongan dari GMNI Sulut ini, publik kini menanti langkah konkret DPRD dalam merespons suara-suara kritis dari kalangan pemuda dan menjadikan Ranperda Kepemudaan sebagai instrumen transformasi sosial yang berdampak langsung.