SATUBMR–Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kamu akan dikembalikan hanya kepada Kami. (QS. Al-Anbiyya:35)
kutipan ayat diatas kembali mengingatkan kita bahwa tidak ada yang kekal di bumi. Tuhan telah menentukan takdir dari masing-masing hambanya sesuai dengan qada` dan qadarnya. Dan pada jumat tanggal 15 April 2022 kemarin bertepatan dengan jumat ke 2 di bulan Ramadhan 1443 Hijriah, salah satu hamba Allah yang paling saya muliakan dan cintai menemui takdirnya. Beliau adalah nenek saya yang akhirnya kembali ke pelukan sang pencipta setelah berhasil survive selama 78 tahun. Setelah kabar tentang kepergian nenek disampaikan oleh salah seorang kerabat melalui grup whatsapp keluarga, saya yang notabenenya masih berada di Gorontalo saat itu langsung bersiap dan berangkat pulang ke Bolaang Mongondow.
Keluarga memutuskan mengebumikan belau di hari berikutnya pada 16 April 2022. Proses pemakaman dilangsungkan secara Islam sesuai dengan syariat dan keyakinan keluarga kami. Namun, ada sedikit bumbu tradisi yang tak ketinggalan dalam prosesi pemakaman ini. Saya berasal dari keluarga NU yang taat, tentu saja tradisi semacam ini merupakan hal yang lumrah di keluarga kami.
Lama merantau, saya sadar bahwa ada terlalu banyak hal menarik terkait tradisi di negeri sendiri yang tak luput dari perhatian saya selama prosesi pemakaman nenek. Detail demi detail saya perhatikan, segala hal begitu menarik sehingga mubazir rasanya apabila tidak diabadikan dalam sebuah tulisan. Saat prosesi pemakaman berlangsung, salah seorang kerabat tiba-tiba mendekati saya dan sepupu-sepupu perempuan saya yang duduk di dalam rumah, kemudian kerabat saya itu meletakkan sebuah kain putih panjang dibahu kiri kami semua. Dan kain putih ini disebut Kolobung.
Kolobung adalah kain putih panjang sekitar setengah sampai satu meter. kain ini biasa diletakkan di bahu dan digunakan seperti syal ataupun selendang oleh kerabat perempuan dari seseorang yang telah meninggal, tujuannya yakni sebagai penanda adanya duka. Kolobung biasanya digunakan 40-100 hari setelah hari kematian. Ada dua jenis kolobung, ada Kolobung yang bertali dan yang tidak bertali. Kolobung bertali biasanya adalah Kolobung yang berasal dari sisa kain kafan langsung yang masih lengkap dengan tali pocong. Tali sisa ini biasanya diikat oleh si pengguna Kolobung selama masa berkabung
sampai mencapai 100 ikatan dalam 100 malam setelah kematian. Setelah 100 malam selesai, ikatan dari kolobung ini biasanya dilepas kemudian diletakkan bersama kolobung di dekat makam. Kolobung Jenis ini biasanya digunakan oleh mereka yang berhubungan sangat dekat seperti kakak beradik, orang tua dan anak ataupun suami istri. Jenis kedua adalah jenis biasa tanpa tali. Jenis ini berasal dari kain putih biasa yang sengaja dibeli oleh keluarga. Nah Kolobung jenis inilah yang biasa digunakan oleh kerabat-kerabat jauh. berbeda dengan jenis yang pertama, kolobung jenis kedua ini hanya digunakan 7 sampai 40 malam. Kemudian setelahnya, kolobung akan tetap disimpan oleh si pengguna kolobung.
(Sebelah kiri Kolobung tanpa tali dan sebelah Kanan Kolobung Bertali)
Tata cara penggunaan kolobung juga tidak main-main. Saat pemasangan Kolobung baik kolobung bertali maupun tidak, calon pengguna yang menerima kolobung biasanya dalam posisi berlutut. kolobung juga diletakkan pada sebuah baki dan dibawah oleh dua orang. Saat meletakkan kolobung pada si pengguna, orang yang meletakkan kolobung akan meletakkan kolobung bersamaan dengan bobahasaan ataupun itu-itum. Tergantung jenis kolobungnnya. Untuk Kolobung tak bertali, hanya diantar dengan bobahasaan sementara untuk kolobung yang bertali, saat memasang maupun melepas akan diantar dengan itu-itum. itu-itum merupakan sastra lisan bermakna dalam yang mengandung doa dan harapan. Itu-itum dinilai sebagai sastra lisan yang punya nilai sakral didalamnya, oleh karena itu hanya upacara-upacara tertentu saja yang menggunakan sastra lisan ini.
Kolobung bertali saat pertama kali diberikan kepada pengguna kolobung, bukan diletakkan di bahu seperti kolobung tanpa tali melainnkan diletakkan di atas kepala (inuntu). Kemudian setelah malam ketujuh, Kolobung bertali akan dipindahkan ke bahu bersamaan dengan upacara momingkad bolad. Saat upacara ini, kolintang akan dibunyikan setelah itu-itum dikumandangkan. Setelah upacara ini selesai, Kolobung bertali belum diperkenankan untuk dilepas sampai malam ke 100. Sementara untuk kolobung tanpa tali sudah bisa dilepas dan disimpan.
(Prosesi Momingkad Bolad yang dipimpin Jiow setempat)
Terlepas dari persoalan agama, boleh dan tidaknya kolobung digunakan dalam upacara pemakaman, sejatinya praktek penggunaan kolobung dalam upacara adat pemakaman masyarakat Bolaang Mongondow khususnya di Bilalang sudah lama di lakukan oleh masyarakat setempat. Belum diketahui secara pasti dari mana asal muasal sejarah awal penggunaan kolobung, yang pasti kolobung adalah bagian dari budaya yang perlu untuk dilestarikan. Tujuan dari tulisan ini tidak lain adalah sebagai bentuk ungkapan rasa cinta saya terhadap kebudayaan daerah yang ingin saya bagi untuk orang-orang di luar daerah Bolaang Mongondow. Terakhir saya berharap melalui tulisan kecil ini dapat memberi pengetahuan baru bagi kita semua mengenai uniknya budaya yang ada disekitar kita. Saya berharap, di masa depan akan ada penelitian yang mengulas kolobung lebih dalam dengan kadar keilmuan dan proses penelitian yang lebih serius agar nantinya kolobung bisa menjadi warisan budaya yang kelestariannya tetap mengabadi dalam sebuah tulisan.
Tentang penulis:
Tasya Aziza Mokodongan
Adalah Mahasiswa yang berasal dari Desa Bilalang IV, Kec. Bilalang, Kab. Bolaang Mongondow. yang saat ini mengenyam studi di Universitas Negeri Gorontalo, semester ke dua di jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial. Ia aktif di berbagai organisasi intra maupun ekstra kampus, diantaranya HMJ Ilmu Komunikasi, PMII, KPMI Bogani, dan Bendahara IPPNU Kota Gorontalo. Saat SMA pernah mengikuti olimpiade menulis tingkat nasional yang diselenggarakan oleh Kemeng RI dengan judul penelitian “Tradisi Kulintang Dalam Upacara Adat Pemakaman Masyarakat di Bolaang Mongondow”