Opini

Lima Pemimpin, Satu Tekad: Motobatu Molintak kon Bolaang Mongondow Raya

×

Lima Pemimpin, Satu Tekad: Motobatu Molintak kon Bolaang Mongondow Raya

Sebarkan artikel ini

Oleh: Donald Q. Tungkagi

Akademisi & Direktur The Bolmongraya Institute

Sebuah Momentum Bersejarah 

Senin, 2 Juni 2025, akan tercatat sebagai hari bersejarah bagi Bolaang Mongondow Raya (BMR). Hanya sehari setelah, Hari Lahir Pancasila, sebuah momentum kebangsaan yang mengukuhkan fondasi persatuan di tengah keberagaman, lima kepala daerah di BMR duduk bersama, mengukir janji persatuan yang luar biasa berharga.

Bupati Bolmong Yusra Alhabsyi, Bupati Bolsel Iskandar Kamaru, Bupati Bolmut Sirajudin Lasena, Bupati Boltim Oscar Manoppo, dan Wali Kota Kotamobagu Weny Gaib, duduk bersama bukan untuk bersaing, bukan untuk mempertahankan ego daerah, melainkan untuk visi bersama: “Motobatu Molintak kon Bolaang Mongondow Raya”.

Pertemuan ini, dengan segala semangat tanpa ego dan langkah maju yang revolusioner, adalah manifestasi nyata dari nilai-nilai luhur Pancasila yang telah diikrarkan pada 1 Juni. Ini adalah bukti bahwa semangat gotong royong dan persatuan Indonesia bukan hanya retorika di buku sejarah, melainkan jiwa yang hidup dan menggerakkan pembangunan di tanah Bolaang Mongondow Raya.

Bayangkan, selama ini kita terbiasa dengan narasi persaingan, tarik-menarik kepentingan, bahkan terkadang friksi kecil antar wilayah. Setiap kepala daerah sibuk mengurus rumah tangganya sendiri, berusaha memaksimalkan potensi daerahnya tanpa terlalu melirik tetangga. Sebuah keniscayaan, tentu saja, dalam sistem otonomi daerah. Namun, di balik itu semua, tersembunyi potensi besar yang tak tergali maksimal karena absennya visi regional yang terpadu.

Ego Daerah Ditanggalkan, Kolaborasi Dimulai

Di Indonesia umumnya, ego kedaerahan sering menjadi penghambat pembangunan. Setiap daerah ingin menjadi yang terdepan, seringkali mengabaikan sinergi yang justru bisa mempercepat kemajuan. Tapi tidak di BMR. Kelima kepala daerah ini sadar: kekuatan BMR terletak pada persatuannya.

Maka, ketika kelima pemimpin ini memutuskan untuk meletakkan fondasi kerjasama antar daerah melalui sebuah Memorandum of Understanding (MoU), itu adalah langkah maju yang revolusioner. Ini adalah deklarasi bahwa mereka memahami betul, kemajuan sejati tidak bisa dibangun sendiri-sendiri.

Bolaang Mongondow Raya adalah satu kesatuan geografis, historis, dan kultural. Kekuatan Bolmong ada pada pertanian dan pertambangannya, potensi Bolsel pada kelautan dan pariwisatanya, Bolmut pada pertanian dan kelautannya, Boltim pada kelautan dan keindahan alamnya, dan Kotamobagu sebagai denyut nadi perkotaannya. Ketika potensi-potensi ini dipadukan, disinergikan, dan dikelola dalam satu payung kerjasama, hasilnya akan berlipat ganda.

12 Program Strategis: Fondasi Kebangkitan BMR

Dua belas poin krusial yang tercantum dalam MoU ini bukan sekadar daftar kegiatan. Ini adalah cerminan dari pemahaman mendalam tentang kebutuhan dan tantangan BMR secara menyeluruh.

Mari kita cermati: pembangunan (1) Asrama Bogani, sebuah langkah konkret untuk memastikan anak-anak BMR memiliki akses pendidikan yang layak di luar daerah. Penanganan (2) Sampah secara regional, menandakan kesadaran bahwa masalah lingkungan tak mengenal batas administratif. Cita-cita memiliki (3) Universitas, mimpi lama yang kini terangkai dalam visi bersama, akan mencetak generasi penerus yang relevan dengan kearifan lokal. Pengembangan (4) Bandara, (5) Pertambangan yang bertanggung jawab, serta pembentukan (6) BUMD bersama, semua ini adalah pilar ekonomi yang akan menopang kemajuan regional.

Tidak hanya itu, perhatian terhadap (7) program prioritas nasional secara kolektif menunjukkan kematangan dalam berinteraksi dengan pusat. Inisiatif (8) Sekolah Rakyat dan (9) Dapur Makanan Bergizi adalah sentuhan humanis yang langsung menyasar peningkatan kualitas hidup masyarakat dari bawah.

Serta yang tak kalah penting, upaya bersama dalam (10) pengendalian inflasi, (11) penguatan ketahanan pangan, energi, dan air, serta penataan (12) wilayah pertambangan rakyat, ini semua adalah fondasi vital untuk stabilitas dan keberlanjutan.

Tantangan ke Depan: Dari MoU ke Aksi Nyata

Visi bersama adalah melodi yang indah, namun implementasinya memerlukan orkestrasi yang sempurna dari lima instrumen yang berbeda. Setiap daerah memiliki ritme birokrasinya sendiri, prioritas yang mungkin bergeser, dan bahkan “bahasa” administratif yang tidak selalu sama. Bagaimana memastikan bahwa Dinas Pekerjaan Umum di Bolmong selaras dengan Dinas Lingkungan Hidup di Kotamobagu, atau Dinas Pertanian di Bolsel beresonansi dengan Dinas Perdagangan di Boltim misalnya. Tanpa koordinasi yang presisi, simfoni ini bisa berakhir menjadi kebisingan, mengkhianati semangat persatuan yang telah dicanangkan.

Dua belas program, dari asrama hingga bandara, dari persampahan hingga ketahanan pangan, semuanya membutuhkan sumber daya finansial dan manusia yang tidak sedikit. APBD masing-masing daerah memiliki batasan. Jika tidak ada skema pembiayaan yang inovatif dan adil, serta alokasi SDM yang memadai, maka MoU ini bisa saja menjadi sekadar daftar keinginan yang tak terwujud.

Meski ada semangat BMR, setiap kepala daerah tetaplah representasi dari konstituennya. Sebuah program seperti “Universitas” mungkin lebih mendesak bagi Kotamobagu sebagai pusat kota, sementara “Wilayah Pertambangan Rakyat” lebih relevan di Bolmong atau Boltim. Perbedaan prioritas ini, jika tidak dikelola dengan bijak melalui musyawarah untuk mufakat, bisa menimbulkan gesekan dan menghambat kemajuan kolektif.

Setiap daerah memiliki peraturan daerah (Perda) dan prosedur birokrasi masing-masing. Menyelaraskan regulasi terkait perizinan pertambangan, pengelolaan sampah, atau bahkan pembentukan BUMD bersama yang harus tunduk pada lima yurisdiksi berbeda, adalah pekerjaan rumah yang maha berat. Potensi tumpang tindih atau bahkan konflik regulasi bisa menjadi penghambat yang serius, mengancam efektivitas pemerintahan.

MoU ini adalah kesepakatan elit. Namun, keberhasilan implementasi sangat bergantung pada dukungan dan partisipasi aktif dari masyarakat, pelaku usaha, akademisi, hingga tokoh adat. Jika mereka tidak merasa memiliki program-program ini, atau tidak dilibatkan secara meaningful, maka resistensi dari bawah bisa menjadi batu sandungan. Ini adalah pengingat bahwa pembangunan haruslah dari, oleh, dan untuk rakyat.

Masa jabatan kepala daerah ada batasnya. Apa yang terjadi jika salah satu atau beberapa dari lima pemimpin ini tidak lagi menjabat? Akankah komitmen yang telah dibangun ini terus berlanjut, ataukah akan tergerus oleh agenda politik pemimpin baru? Keberlanjutan visi dan komitmen adalah tantangan krusial, yang menuntut adanya visi jangka panjang dan kebersamaan yang melampaui kepentingan individu.

Solusi: Menempa Jalan Menuju Kemajuan

Kerjasama ini sepertinya membutuhkan sebuah Badan Otorita Regional atau Sekretariat Bersama yang memiliki payung hukum kuat, kewenangan eksekusi, dan staf profesional yang independen dari birokrasi masing-masing daerah. Badan ini akan menjadi “otak” dan “tangan” implementasi, memastikan koordinasi yang mulus dan pengambilan keputusan yang cepat.

Selain itu, setiap program dalam MoU harus dipecah menjadi rencana aksi yang sangat detail, lengkap dengan target waktu yang realistis, indikator kinerja yang terukur (KPI), dan penanggung jawab yang jelas. Ini adalah peta jalan yang akan memandu setiap langkah, mencegah penyimpangan, dan memungkinkan evaluasi yang objektif.

Kelima daerah juga harus menyepakati formula alokasi anggaran yang adil dan transparan. Selain itu, aktif mencari sumber pendanaan di luar APBD, seperti skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU), hibah dari pemerintah pusat atau lembaga donor internasional, serta partisipasi aktif dari sektor swasta melalui investasi. BUMD Bersama harus menjadi mesin ekonomi yang menghasilkan keuntungan untuk reinvestasi.

Mungkin penting membentuk tim kerja lintas daerah yang bertugas mengidentifikasi dan menyelaraskan regulasi yang tumpang tindih atau berpotensi konflik. Jika perlu, inisiasi pembentukan Peraturan Bersama Kepala Daerah (PBKD) atau bahkan Perda Provinsi yang mendukung kerjasama regional BMR. Sederhanakan prosedur birokrasi untuk proyek-proyek bersama.

Tidak kalah penting, MoU ini harus diinternalisasikan ke seluruh lapisan masyarakat. Selenggarakan forum-forum konsultasi publik secara berkala, libatkan perwakilan masyarakat, adat, akademisi, dan pelaku usaha dalam tim kerja program. Berikan ruang bagi mereka untuk menyuarakan aspirasi dan berkontribusi aktif. Kemitraan publik-swasta harus menjadi tulang punggung implementasi.

Terakhir, komitmen bersama ini harus diinstitusionalisasikan, tidak bergantung pada individu pemimpin. Masukkan semangat dan program MoU ini ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) masing-masing daerah. Buat mekanisme serah terima yang jelas untuk memastikan pemimpin berikutnya mewarisi dan melanjutkan estafet pembangunan bersama.

Penutup: BMR Bisa Menjadi Model Nasional

Jika ini berhasil, BMR akan menjadi bukti bahwa daerah-daerah di Indonesia bisa bersatu untuk kesejahteraan bersama. Bukan dengan saling sikut, tapi dengan saling menguatkan. Ini implementasi nyata atas petuah pepatah: “Motobatu Molintak kon Bolaang Mongondow Raya” (Bersatu membangun/memajukan Bolaang Mongondow Raya).

Tantangan akan selalu ada, namun dengan komitmen yang tak tergoyahkan, koordinasi yang cerdas, dan pelibatan seluruh elemen masyarakat, Bolaang Mongondow Raya akan membuktikan bahwa persatuan bukanlah utopia, melainkan sebuah kekuatan nyata yang mampu mengubah mimpi menjadi kenyataan.

Lima kepala daerah BMR telah memulai langkah besar. Kini, tinggal kita semua: masyarakat, swasta, akademisi untuk mendorong agenda besar ini sampai ke garis finis. Mari kita kawal, karena ini adalah takdir BMR yang harus kita ukir bersama. (*)