Opini

Setelah Yusra Alhabsy: Siapa Pelanjut Keramat Ansor Sulawesi Utara?

×

Setelah Yusra Alhabsy: Siapa Pelanjut Keramat Ansor Sulawesi Utara?

Sebarkan artikel ini

Oleh: Donald Q. Tungkagi

_Kader GP Ansor Sulawesi Utara & Wasekjen Pimpinan Pusat GP Ansor 2024-2029_

*Ansor dan Ritual Kesinambungan*

Sejarah bukanlah garis lurus, melainkan spiral yang berulang dengan variasi, dan Gerakan Pemuda (GP) Ansor Sulawesi Utara, telah menjadi laboratorium yang menggerakkan sejarah. Bukan dengan teriakan, tapi dengan konsistensi yang menjelma kekuasaan. _L’histoire se répète_, sejarah akan berulang, begitu kata pepatah Prancis bahwa sejarah akan berulang dengan pola yang serupa meski dalam konteks waktu yang berbeda.

Di Sulawesi Utara, sebuah pola unik dan hampir magis telah mewarnai perjalanan GP Ansor selama dua dekade terakhir, di mana para Ketua PW Ansor yang purna tugas seolah memiliki momentum politik untuk menanjak ke level yang lebih tinggi.

Lihatlah sahabat Benny Rhamdani, menjadi Ketua PW GP Ansor Sulut sejak tahun 2004 hingga berakhir 2015, setelah tiga periode mengakar di DPRD Sulawesi Utara, di penghujung kepemimpinannya menjadi Senator DPD RI wakil Provinsi Sulawesi Utara periode 2014-2019. Itu bukan prestasi dadakan, melainkan hasil dari kerja keras yang bertahun-tahun bersetia pada proses dan pergulatan.

Sahabat Yusra Alhabsyi, dengan perjalanan yang tak kalah fenomenal, sosok flamboyan yang menjadikan idealisme sebagai kendaraan politiknya. Dua periode di DPRD Bolaang Mongondow, satu periode di DPRD Sulawesi Utara, justru di puncak baktinya sebagai ketua wilayah, takdir membawanya menduduki kursi Bupati Bolaang Mongondow periode 2025-2030.

Di kepemimpinan sahabat Yusra, Ansor Sulawesi Utara bertransformasi lebih dari sekadar organisasi, tapi ritus penempa kader yang siap mengemban amanah. Ia menjahit tradisi kepemimpinan menjadi untaian benang pembangunan yang nyata, bahkan membuahkan hasil ganda. Dua kader penting di era kepengurusannya,  Sahabat Wenny Gaib (Bendahara, 2019-2025) dan Sahabat Oskar Manoppo (Wakil Ketua, 2015-2019) adalah bukti nyata, keduanya kini memegang tampuk kekuasaan sebagai Walikota Kotamobagu dan Bupati Bolaang Mongondow Timur pada periode 2025-2030.

Ini bukan kebetulan, bisa dibilang ini “keramat” Ansor Sulawesi Utara yang memancarkan daya tarik dan magnet kepemimpinan. Apa yang terjadi di Ansor Sulut adalah contoh langka bagaimana organisasi kepemudaan bisa menjadi platform kekuasaan. Sahabat Yusra Alhabsyi telah membuktikan bahwa yang disebut “keramat” itu bukan sihir melainkan presisi strategi, kedisiplinan kader, dan kemampuan membaca ruang politik daerah.

*Menanti Sang Perawis Keramat*

Di pusat Kota Kotamobagu, tanggal 17-18 April 2025, Konferensi Wilayah (Konferwil) GP Ansor Sulawesi Utara ke-13 bukan sekadar agenda organisasi, melainkan panggung penantian khidmat akan suksesor “keramat” yang selama ini menjadi ciri khas gerakan kaum sarungan, dalam konteks Sulawesi Utara berkelindan dengan priyai dan kebanyakan abangan.

Pasca kepemimpinan karismatik sahabat Yusra, pertanyaannya bukan lagi tentang siapa menjadi ketua, tapi siapa sang pewaris keramat tersebut? Sang pewaris haruslah sosok yang bukan sekadar memiliki kematangan melanjutkan tradisi kepemimpinan, namun punya kesegaran visi membuka babak baru tradisi gerakan.

Jawabnya bukan dengan hitungan elektoral apalagi dalam balutan kemilau materi. Ansor, organisasi yang lahir sebelum bangsa ini merdeka punya insting sejarah, tak gampang terpikat popularitas semata, melainkan pada resonansi potensi kepemimpinan yang teruji dalam sunyi pengabdian, keberanian, dan konsistensi yang tak tergoyahkan.

Namun, “keramat” dalam nalar kaum muda Ansor sebagai penjaga tradisi bukanlah pusaka magis yang berpindah tangan dengan mudah. Ia adalah simfoni dari kerja keras yang terakumulasi, visi yang terarah, orkestrasi organisasi yang piawai, dan sentuhan “politik langit” yang melampaui kalkulasi rasional.

Oleh sebab itu, calon Ketua PW Ansor Sulawesi Utara selanjutnya harusnya melampaui figur sekadar legitimasi formal. Kita butuh figur dengan daya pikat kecerdasan personal, plus finansial, bahkan spiritual. Kemampuan yang sangat dibutuhkan serta strategis untuk menavigasi labirin politik lokal.

Kita butuh pemimpin yang tak hanya mahir dalam mengelola organisasi, tetapi juga memiliki visi organisasi yang kuat dan kapasitas untuk terus mengukir kontribusi. Tugasnya bukan hanya merawat “keramat” yang diwariskan, melainkan memperkaya dengan inovasi dan terobosan yang relevan dengan denyut zaman.

Konferwil mendatang, adalah titik balik krusial, sebuah persimpangan yang akan menentukan arah gerak Ansor Sulawesi Utara. Akankah “keramat” itu tetap bersinar membawa maslahat, atau justru redup seiring peralihan tampuk kepemimpinan? Jawabannya tidak terselip dalam ramalan kabur, melainkan terpateri pada kualitas pilihan yang kita tetapkan.

*Keramat Ansor: Mitos Atau Mekanisme?*

“Keramat” Ansor Sulut sebenarnya adalah _constructed myth_ , mitos yang dikonstruksikan, namun bekerja karena dibangun di atas fondasi nyata. Kita menyebutnya “keramat”, tapi sebutan yang lebih tepat adalah “berkah organisasi”. Berkhidmat di Ansor sebagai banom Nahdlatul Ulama (NU) dalam perspektif kader diyakini membawa keberkahan, baik bagi diri sendiri, bangsa dan negara.

Calon Ketua PW GP Ansor Sulut selanjutnya harus sadar bahwa keramat Ansor bukanlah mitos, tapi tanggung jawab. Ia harus bisa membaca sejarah bukan sebagai beban, tetapi sebagai bahan renungan. Bahwa setiap Ketua PW adalah narasi politis yang secara tak langsung menjadi prolog kekuasaan.

Sahabat Yusra Alhabsyi telah membuktikan itu. Maka jika hari ini ada yang maju hanya demi posisi, tanpa memahami fungsi sejarah, maka ia tidak akan mewarisi keramat, tapi justru akan mencederainya. Karena Ansor bukan sekadar organisasi kaderisasi, tapi juga institusi moral dari tradisi Nahdlatul Ulama yang berpikir dan bertindak.

Dan jika ada satu sosok yang hari ini sedang digadang-gadang, dielus oleh waktu dan dihitung oleh para kader, maka dia harus tahu bahwa yang sedang ia dekati bukan kursi, tapi kutukan sejarah bahwa yang gagal menjaga keramat, akan dilupakan. Tapi yang berhasil memeluknya, akan dikenang sebagai penerus jalan.

*Ujian Bagi Calon Penerus*

Jika calon ketua berikutnya ingin melanjutkan keramat ini, ia harus menjawab tiga pertanyaan kunci:

_Bisakah Ia Menjadi “Jembatan” Antara Gerakan dan Kekuasaan?_

Ansor adalah sayap muda NU, tapi politik elektoral membutuhkan lebih dari sekadar identitas keagamaan. Ia harus miliki kecerdasan personal intelektual agar bisa menjadi penerjemah antara nilai-nilai gerakan dan agenda pembangunan daerah.

_Apakah Ia Punya Modal yang Cukup?_

Kepemimpinan di Ansor adalah produk dari akumulasi pengalaman, bukan melesat karena mantra, melainkan karena jaringan luas hingga kecerdasan finansial kuat yang terbangun selama memimpin, legitimasi kultural sebagai kader yang punya basis massa, dan kemampuan membaca peta politik Sulut yang kompleks.

Calon selanjutnya harus punya rekam jejak yang setara, jika tidak, “keramat” itu bisa berubah menjadi beban bahkan petaka.

_Mampukah Ia Menciptakan Narasi Baru?_

Keramat bukan mitos, ia hanya akan bertahan jika ada inovasi. Jika calon ketua baru hanya mengandalkan pola lama, ia bisa terjebak dalam nostalgia. Maka pertanyaannya sederhana namun keras, siapakah yang hari ini cukup berpikir untuk memimpin, dan cukup berani untuk mewarisi keramat itu?

Karena setelah sahabat Yusra, yang kita butuhkan bukan penerus formal, tapi pewaris intelektual dan spiritual dari tradisi politik yang berpijak pada kerja, bukan wacana. Dan sejarah, sebagaimana biasa, tidak memilih mereka yang bersuara paling nyaring. Sejarah lebih percaya pada mereka yang bekerja dalam senyap.

*Keramat Saja Tidak Cukup*

Keramat Ansor Sulut bukanlah takdir, melainkan sebuah tradisi yang harus terus dibuktikan. Jika penerusnya hanya mengandalkan mitos tanpa strategi, siklus ini bisa terputus.
Seperti kata Walter Benjamin: “Setiap generasi diberi kesempatan untuk menjadi ‘penyelamat’ bagi masa lalu.” Ketua Ansor Sulut berikutnya tidak hanya harus menjadi “penerus”, tapi juga penafsir ulang dari warisan para pendahulu.

Sebagai penutup, mari kita renungkan kembali hakikat kepemimpinan. Ia bukanlah sekadar jabatan atau kekuasaan, melainkan amanah dan tanggung jawab. Pemimpin yang hebat adalah mereka yang mampu menginspirasi, menggerakkan, dan meninggalkan jejak kebaikan.

Semoga Ansor Sulawesi Utara terus melahirkan pemimpin-pemimpin yang memiliki “keramat” dalam arti sesungguhnya: kharisma, integritas, dan kemampuan untuk membawa perubahan positif. Waktu akan menjawab, siapa yang akan menjadi pelanjut “keramat” Ansor Sulawesi Utara setelah sahabat Yusra Alhabsyi. Kita hanya bisa berharap dan berikhtiar yang terbaik. (***)