Opini

NIETZSCHE BOLMONG Dari Tuhan telah Mati ke Matinya Bogani

×

NIETZSCHE BOLMONG Dari Tuhan telah Mati ke Matinya Bogani

Sebarkan artikel ini

By: (Reza D. Tohis, Presidium KAHMI Bolmong)

Tuhan telah Mati’ merupakan salah satu metafora filosofis yang kontroversial dari Friedrich Nietzsche, seorang filsuf dari Jerman. Konsep ini pertama kali muncul dalam bukunya “Die fröhliche Wissenschaft” (Sains yang Mengasyikkan) yang kemudian dieksplorasi lebih lanjut dalam karya-karyanya yang lain, seperti “Also Sprach Zarathustra” (Demikianlah Sabda Zarathustra).

Dalam karya-karya tersebut Nietzsche menggunakan metafora ‘Tuhan telah Mati’, alih-alih, untuk menggambarkan runtuhnya kepercayaan pada Tuhan dan agama tradisional di dunia Barat. Namun, perlu digaris bawahi bahwa, metafora ini bukan menunjuk pada persoalan teologis, melainkan pada persoalan perubahan paradigma kebudayaan.

 

Nietzsche melihat bahwa sains, termasuk rasionalitas, telah menggantikan kepercayaan religius. Nilai-nilai yang sebelumnya didasarkan pada agama tidak lagi memiliki dasar. Dengan demikian masyarakat kehilangan fondasi nilai moral dan nilai absolut, yang sebelumnya diberikan oleh agama.

Bagi Nietzsche, konsekuensi dari ‘Kematian Tuhan’ adalah krisis eksistensial dalam bentuk nihilisme, di mana kehidupan dianggap tidak lagi memiliki tujuan dan makna. Nihilisme adalah pola kehidupan yang tidak memiliki makna dan tujuan, atau nilai intrinsik. Kondisi yang demikian, akhir-akhir ini, tergambarkan dalam dinamika sosio-politik Bolaang Mogondow.

Jika di dunia Barat, terutama di era Nietzsche, agama telah digantikan oleh sains, maka di Bolaang Mongondow kontemporer, sejarah telah digantikan dengan kepentingan politik. Bogani, yang umum dipahami sebagai simbol kepemimpinan, sekaligus menjadi inspirasi historis dan karakteristik masyarakat Bolaang Mongondow, ‘Telah Mati’.

‘Kematian Bogani’ menandakan runtuhnya nilai-nilai kperibadian dan historis masyarakat Bolaang Mongondow. Tidak heran jika melihat pola kepemimpinan politik dalam pemerintahan hari ini seperti tidak memiliki tujuan dan makna, tidak memiliki nilai intrinstik, nihilisme. Bolaang Mongondow Kontemporer sedang dalam kondisi krisis eksitensial.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, bagaimanakah proses kematian Bogani dan siapakah pembunuhnya? Jawabannya tergambarkan dalam aforisme berikut ini!
Tidakkah kamu telah mendengar seorang yang menyalakan lentera di pagi hari yang cerah, berlari menuju tempat kerumunan, dan terus-menerus berteriak: “Bogani dari Minahasa! Bogani dari Minahasa!” Ketika banyak orang…, berdiri di sekelilingnya kemudian, dia mengundang gelak tawa.
Apakah dia bukan orang Mongondow? Tanya seseorang. Apakah dia telah tersesat jauh dari tanah Totabuan? Tanya yang lainnya. Atau dia sedang bersembunyi dari tuannya? Apakah dia takut pada tuannya? Seorang perantau? Maka mereka saling bertanya sinis dan tertawa.

Orang itu melompat ke tengah kerumunan dan menatap mereka dengan mata tajam, kemudian Dia berteriak: “Aku akan menceritakan pada kalian, bahwa Bogani dari Minahasa. Dengan begitu, kita telah membunuhnya, aku dan kalian. Kita semua adalah pembunuhnya. Bogani sudah mati. Bogani terus mati”. (Diadaptasi dari Die fröhliche Wissenschaft, Friedrich Nietzsche)